Laman

Selasa, 11 Maret 2014

Fenomena Miris Pendidikan Di Sekolah Pinggiran Sragen

JOGLOSEMAR.CO.ID. Pagi kemarin, halaman SMPN 2 Mondokan sudah dipenuhi oleh siswa-siswi kelas III dan wali murid yang hari itu sengaja dihadirkan untuk mengikuti hipnoterapi khusus menghadapi persiapan Ujian Akhir Nasional (UAN) tahun ini. Tak lama kemudian, jerit tangis pun terdengar dari sekitar 125 siswa yang diterapi di aula SMP yang terletak di tengah Desa Ngroto, Sumberejo, Mondokan dan dikelilingi kawasan hutan itu. Bahkan, Kepala SMPN 2 Mondokan, Sidang Widodo terlihat trenyuh saat membantu tim dari Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) yang digandeng untuk mengisi program terapi kepada siswa dan wali murid.
“Kalian sebagai siswa sudah tiga tahun di SMPN 2 Mondokan ini, coba ingat-ingat apa saja hal negatif yang sudah kalian lakukan. Ingat semua kesalahan terhadap guru dan orangtua kalian yang susah payah mencari biaya untuk menyekolahkan kalian. Camkan itu, sekarang kumpulkan semua dan lemparkan jauh-jauh. Kalian sudah kelas III dan akan menghadapi ujian,” ujar Sidang yang membuat para siswa semakin keras menangis. Tak jauh beda, orangtua siswa juga berurai air mata ketika diingatkan tugas berat sekolah dalam membimbing siswa namun sering kali masih diabaikan. Para wali murid yang sebagian juga berurai air mata itu juga dipesan untuk senantiasa mengawasi dan memotivasi anak-anaknya tetap bersekolah demi masa depan dan tidak mencabut hanya untuk dinikahkan. Suasana kian haru setelah terapi selesai dan seluruh siswa dipertemukan dengan orangtua mereka. Sembari berlinang air mata, masing-masing siswa akhirnya meminta maaf dan berangkulan memeluk orangtua mereka. Menurut Sidang, hipnoterapi itu sengaja digagas untuk membekali siswa dan orangtua yang selama ini kerap dibayangi pemikiran minus soal pentingnya pendidikan. Hal itu juga dilakukan untuk membendung fenomena banyaknya wali murid yang mendadak mencabut anaknya dari sekolah hanya karena akan dinikahkan. Bahkan, belum lama ini, ada orangtua siswi kelas I yang nekat mengajukan permohonan keluar karena anaknya akan dikawinkan. “Sejak saya menjadi Kasek di situ September 2013, sudah ada tiga siswi yang dicabut orangtuanya karena akan dinikahkan. Dengan motivasi dan terapi seperti ini kami harapkan orangtua bisa mengubah pikiran bahwa pendidikan itu penting, sehingga tidak lagi mencabut anaknya,” urainya.
Pihaknya tak menutup mata, bahwa hampir sebagian besar orangtua murid di sekolahnya memang berekonomi menengah ke bawah. Faktor budaya dan sosial yang kental juga sedikit banyak masih mempengaruhi pola pikir masyarakat yang lebih memandang dengan menikahkan anak usia dini maka akan mengurangi beban ekonomi keluarga. Salah satu tokoh masyarakat Sumberejo, Parlan membenarkan jika fenomena mencabut anak untuk dinikahkan usia dini memang sering terjadi di Mondokan. Pasalnya, kondisi sosial masyarakat di wilayahnya mayoritas hanya buruh tani dengan pendidikan minim. Bahkan yang terakhir ini, ada salah satu wali murid asal Sambiruyung yang nekat mencabut anaknya yang masih duduk di kelas I SMP dan berhasil dinikahkan lewat persidangan. Terpisah, Kabid Pendidikan Dasar Dinas Pendidikan Sragen, Kusmanto mengaku belum mendapat laporan soal maraknya fenomena mencabut siswi dari bangku SMP untuk dinikahkan dini. Menurutnya, menikahkan anak di bawah umur mestinya tidak boleh. Namun demikian untuk pencegahan, pihaknya akan segera memerintahkan seluruh kepala sekolah agar memberikan sosialisasi kepada wali murid untuk sebisa mungkin menghindari pencabutan siswa usia wajib belajar untuk dinikahkan